Usman Janatin, seorang Sersan Korps Komando Operasi (KKO) yang tewas ditiang gantungan negeri tetangga saat usianya belum beranjak dari 25 tahun.
Usman menjadi satu dari dua anggota KKO Indonesia yang ditangkap di Singapura dan divonis hukuman gantung oleh Pemerintah Singapura pada Oktober 1998.
Berawal pada 1962, saat mimpi Usman menjadi marinir terwujud. Pada 1 Juni 1996, pria kelahiran 18 Maret 1943 di dusun kecil di Purbalingga, Jawa Tengah, itu diterima sebagai anggota KKO, nama Kors Marinir TNI Angkatan Laut saat itu, setelah mendaftarkan diri ke TNI saat lulus sekolah menengah atas.
Saat itu, Indonesia tengah terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu, sebutan untuk Malaysia sebelum negeri jiran itu resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.
Dilansir dari tirto.id, Presiden RI Soekarno ternyata tak senang dengan tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, bahkan Brunei Darusaalam, yang letaknya di Pulau Borneo alias Kalimantan bagian utara, berdampingan dengan wilayah NKRI.
Menurut Sukarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Federasi Malaya, bagi Sukarno, hanyalah negara boneka Inggris.
Dengan lantang, sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu menyerukan gerakan Ganyang Malaysia. Kelak, Usman memainkan peran sangat penting dalam peristiwa itu.
Darah muda Usman bergejolak, dengan berani ia mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk dilibatkan dalam operasi militer Komando Mandala Siaga. Padahal saat itu, Usman belum lama diterima menjadi marinir di KKO.
Di bawah pimpinan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani yang ditunjuk langsung Presiden Sukarno untuk menggantikan Soerjadi Soerjadarma. TNI ketika itu membutuhkan 3 relawan. Selain Usman, ada pula Harun Thohir dan Gani bin Arup.
Pada 8 Maret 1965, misi penting pun kemudian diembankan dipundak ketiga pemuda sukarelawan itu. Usman Janatin, ditugaskan sebagai komandan. Saat itu, Singapura menjadi bagian dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.
Sebenarnya, Usman, Harun, dan Gani bertugas memantik ricuh di Singapura dengan mengeksploitasi perbedaan ras serta merusak instalasi-instalasi penting. Singapura yang dihuni oleh banyak orang keturunan Cina memang berpotensi tinggi menuai konflik jika dibenturkan dengan ras Melayu yang menjadi penduduk asli di sebagian besar wilayah Malaysia.
Berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiganya diperintahkan untuk meledakkan sebuah rumah tenaga listrik. Namun ternyata, yang dibom bukanlah target semula, melainkan gedung Hong Kong dan Shanghai Bank atau MacDonald House di Orchard Road, Central Area, Singapura.
Menjelang petang 10 Maret 1965, bangunan di kawasan padat yang di dalamnya terdapat puluhan orang sipil berguncang hebat. Letusan besar dari sebuah tas ransel meluluhlantakkan gedung bank yang dibangun sejak 1949 itu. Bahkan, menghancurkan semua mobil yang diparkir di sana dan gedung-gedung lain disekitarnya turut hancur.
Dua wanita pegawai Hong Kong and Shanghai Bank, Elizabeth Choo (36 tahun) dan Juliet Goh (23 tahun), serta seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit (45 tahun) tewas. Sementara, 33 orang lainnya mengalami luka ringan hingga berat.
Tiga hari setelah insiden itu, Usman dan Harun yang sempat melarikan diri tertangkap. Sementara Gani, entah bagaimana ia berhasil lolos. Usman dan Harun, lantas diajukan ke pengadilan hingga berujung vonis hukuman mati.
Di tengah pergantian rezim kekuasaan di Indonesia akibat polemik usai Gerakan 30 September dan ketika Indonesia sibuk mengurusi guncangan di dalam negeri, Usman Janatin dan Harun Thohir harus menghadapi pengadilan setelah 8 bulan ditahan.
Hingga pada 4 Oktober 1964, keduanya dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahmakah Tinggi Singapura dengan dakwaan telah melanggar control area, melakukan pembunuhan, serta menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Tentu saja keduanya menolak dakwaan tersebut. Usman dan Harun berdalih bahwa aksi itu bukanlah kemauan mereka sendiri, melainkan suatu tindakan yang harus dilakukan di tengah situasi perang. Usman dan Harus meminta kepada sidang agar diperlakukan layaknya tawanan perang.
Utusan Indonesia kemudian dikirim ke Singapura pada 15 Oktober 1965, untuk menyelamatkan nasib Usman dan Harun. Namun usaha tersebut tak membuahkan hasil, 5 hari berselang keduanya dijatuhi vonis berat, yakni hukuman mati.
Demi menghindarkan Usman dan Harun dari maut, upaya demi upaya pun dilakukan. Hingga tiba asa terakhir dengan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, Yusuf bin Ishak. Namun, tetap saja tak memberikan kabar baik, bahkan permintaan pemerintah Indonesia yang berharap Usman dan Harusn bisa dipertemukan dengan keluarga jelang eksekusi hukuman mati itu dilaksanakan, tidak dikabulkan.
Dan akhirnya, hari eksekusi itu tiba. 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi waktu Singapura, Usman dan Harun benar-benar dihadapkan ke tiang gantungan di Penjara Changi. Siang hari, jenazah keduanya dipulangkan ke tanah air dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada hari itu juga.
Ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta mengantar Usman dan Harun ke pemakaman dengan rasa duka yang mendalam. Keduanya pun dianugerahi tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Bahkan, nama Usman-Harun diabadikan sebagai nama Kapal Perang Republik Indonesia yang diluncurkan pada Juni 2001.
Sebagian rakyat Indonesia, barangkali menganggap Usman dan Thohir sebagai pahlawan kusuma bangsa. namun, label teroris tetap saja sangat sulit untuk diingkari setelah aksi nir kemanusiaan yang telah mereka lakukan, meski atas nama perang.
Sumber : riauonline.co.id